Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Istilah fisafat berasal dari bahasa yunani “philein” dan “sophia” artinya cita kebijaksanaan. Filsafat menuntun kepada seseorang untuk mencari pengetahuan tentang kebijaksanaan dan berusaha untuk hidup lebih baik. Istilah filsafat telah memberikan petunjuk kepada kita tentang apa yang dicari, yaitu pengetahuan yang mendalam yang mencakup seluruh kenyataan.
Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38).
Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ...pemikiran primordial... atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya... (Jakob Sumardjo 2003:116).
Persoalan utama dari filsafat itu sendiri adalah:
a. Persoalan metafisika (metaphisical problem) yaitu persoalan yang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada di dalam semesta ini.
b. Persoalan epistemologi (epystemological problem) yaitu persoalan yang berhubungan dengan pengetahuan, misal saja mengenai kebenaran pengetahuan, kepastian pengetahuan, teori-teori pengetahuan, keruntutan/ konsistensi pengetahuan.
c. Persoalan logika (logical problem), membahas tentang penalaran, cara berpikir runtut/lurus dimulai dari premiese-premiese sampai pada kesimpulan yang benar.
d. Persoalan nilai ( axiological problem), Membahas tentang apa sebenarnya nilai itu dan kaitannnya dengan kehidupan manusia, misalnya saja tentang kebenaran.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa persoalan filsafat itu menyangkut segala sesuatu yang ada dengan sudut pandangan yang mendasar / mendalam, sehingga sering didefinisikan sebagai ilmu tentang hakekat segala sesuatu. Begitu juga dengan film, film secara tidak langsung merupakan sudut pandang dari seorang sutradara dalam memandang suatu. Seperti yang diungkapkan dilatar belakang bahwa sekarang sudah banyak Film yang mengangkat tentang filsafat.
Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.
• Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.
• Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
• Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai).
Film pertama kali lahir di paruh kedua abad 19. Film pada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media selluloid sebagai penyimpannya. Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi maka pengertian film telah bergeser. Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah mengubah pengertian film dari istilah yeng mengacu pada bahan menjadi istilah yang mengacu pada bentuk karya seni audio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya. Di lihat dari segi isi dari Film, maka, Film adalah sebuah rangkaian peristiwa atau fenomena yang diatur sedemikian rupa menjadi satu kesatuan yang memiliki unsur dramatik dan terdiri dari beberapa plot.
Film merupakan salah satu media dimana orang bebas mengekspresikan sesuatu dalam bentuk tanda-tanda. Jika kita lihat lebih mendalam, banyak unsur-unsur filsafat yang diangkat dalam sebuah film. Film terbagi dalam beberapa kategori yaitu antara lain:
1. Film Fiksi; film yang dibuat berdasarkan khayalan sutradara atau penulis skenario dan tidak benar-benar terjadi.
2. Film dokumenter, film yang dibuat sesuai dengan kenyaaan yang ada. Biasanya fokus membahas tentang satu topik atau objek dan menelusurinya secara mendalam.
Krisna Sen menulis sebuah artikel yeng berisi sebuah catatan kritis tentang kondisi perempuan dalam masa orde baru. Ia menuliskan bagaimana peran perempuan sebagai warga negara coba dibatasi dalam ranah public dengan ditempatkan sebagai warga negara kelas kedua yang hanya menjadi bumbu penambah aroma kehidupan. Catatan kritis ini merupakan sebuah refleksi terhadap citra perempuan Indonesia yang digambarkan dalam film-film indonesia pada tahun 1970 sampai 1990an.
Dalam tulisannya, Krisna Sen mencoba membongkar bagaimana pencitraan dan hegemoni sebuah makna dari penguasa terhadap perempuan coba dikampanyekan melalui media film. Sen melihat proses hegemoni ini sebagai sebuah doktrin peradaban yang berguna mematikan peran perempuan dalam kehidupan negara dan dikampanyekan melalui film.
Dalam kasus Sen ini, film telah digunakan sebagai sebuah alat yang mampu menjadi medan pemaknaan dari tanda-tanda yang dianggap dapat mewakili makna yang telah disepakati oleh sebuah komunitas tertentu. Sehingga pencitraan tanda dalam film dimungkin sebagai sebuah hal yang dapat menancapkan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.
John Storey dalam bukunya menuliskan bahwa pada kaum structuralism, film pada prakteknya dianggap telah menjadi sebuah medan dimana tanda-tanda bermain dan menerangkan dirinya untuk memberikan sebuah penjelasan terhadap mitos yang ada disekitanya. Ia menerangkan bagaimana proses penandaan dalam film senantiasa dilakukan oleh strukturalisme yang beranggapan bahwa tanda dihasilkan dari penanda dan petanda seperti yang dijelaskan oleh Saussure dan Strauss, dalam hal ini interpretasi terhadap makna film bisa berhenti malahan bisa terjadi pemaknaan tunggal.
Selanjutnya, Storey menjelaskan bahwa pada poststrukturalism film bukan lagi sebuah penjelas dari penanda dan petanda akan tetapi lebih dari itu, hubungan antara penanda-petanda dalam film dapat menghasilkan pananda-penanda yang dapat lebih diinterpretasikan oleh akal kita. Konteks hubungan ini pada akhirnya akan membawa kita pada penelusuran terhadap trace dari sebuah tanda dan juga akan jauh melampaui makna tunggal yang ada dalam sebuah film, sehingga dalam hal ini pemaknaan tunggal terhadap film bisa disingkirkan seperti yang terjadi pada kaum strukturalis.
Dari dua konsep yang ditawarkan Storey ini, akan disadari bahwa film mempunyai peran yang cukup nyata dalam proses pengkampanyean sebuah nilai yang ditawarkan walaupun hal itu telah dibantah oleh kaum poststrukturalis atau dengan kata lain film secara tidak langsung telah berfungsi sebagai alat komunikasi. Hal ini secara tak sadar menggiring film pada konsep baru yaitu semiotika komunikasi yang pada prosesnya melibatkan model triadic dari Charles Sander Pierce yang menyatakan bahwa pada proses penandaan ada unsur refresentament atau sesuatu yang merefresentasikan yang lain, objek atau sesuatu yang direfresentasikan dan juga interpretasi seseorang akan tanda (refresentament, objek dan interpretant).
Film, secara tak sadar pula pada akhirnya akan membawa kita jauh menelusuri paradigma sebuah nilai yang dibangun diatas relasi kekauasaan yang ada. Dalam hal ini seperti yang dikemukakan oleh Michel Foucault, bahwa pengetahuan-pengetahuan yang ditawarkan dan ada saat ini selalu dibangun dari relasi-relasi kekuasaan yang ada diantara kita.
Layaknya Filsafat, film sangat berpotensi untuk menjelajahi berbagai kemungkinan untuk memahami realitas dan pengalaman. Problem-problem dunia kita saat ini sebenarnya telah coba dibuka oleh film sebagai sebuah kajian epistemic yang menelanjangi dunia dengan sadisnya walaupun dengan menggunakan paradigma negara dunia pertama. Film mencoba menghadirkan permasalahan dunia untuk didiskusikan lantas diselesaikan, hal ini karena film jauh disamping merupakan sebuah hiburan dan kampanye sebuah ideology dan paradigma tertentu. Secara etis dan ontologis memiliki peranan yang yang cukup vital yaitu sebagai alat pendidik yang berpotensi mendidik warga dunia untuk sadar dengan permasalahanan yang terjadi hari ini.
Selain itu, film juga sering kali menjadi alat penyadar tentang nilai histories, moralitas, identitas, hasrat sampai makna hidup dan mati yang kadang kita lupakan, dan akhirnya menjadikan kita manusia yang terputus secara histories dengan tradisi asal kita. Film kadang menyadarkan kita tentang siapa kita sebenarnya dan siapakah kita ini.
Pemaknaan terhadap film merupakan sebuah hal yang tak bisa lagi dipisahkan dari film itu sendiri. film bukanlah hanya sebagai hiburan akan tetapi memiliki nilai epistemologis, ontologis maupun aksiologis yang mungkin mampu mengantarkan kita untuk lebih memahami dunia. film diharapkan dapat mengantarkan kita menjadi manusia Indonesia yang terlepas dari pemikiran ortodoks dengan kedewasaan dalam memahami film tersebut, dan mengantarkan kita mendapatkan makna dari tanda di balik film yang kita saksikan.
Ontologi sinematografi dan refleksinya pada sinema merujuk pertanyaan soal apa itu film, apa yang membuat sebuah film menjadi film, dan untuk menilai tata bahasa konsep soal film beserta peranan yang dimainkan dalam berbagai bentuk kehidupan, Kemampuan untuk merekam citra-citra bergerak dengan begitu telah menyambangi para moderenis dan menjadikan sejarah-sejarah sinema milik moderenisme. Persinggungan tindak-tanduk manusiawi, penelisikan keilmuan, upaya artistik dan debat-debat filosofis telah membingkai moderenisme bersamaan dengan kelahiran sinema.
Sinematografi merupakan proyeksi citraan-citraan yang terikat dalam ruang dan waktu. Citraan-citraan yang tampak nyata memiliki tata bahasa mereka sendiri dan mewakili dunia mereka sendiri, “sebuah dunia mandiri”. Citraan-citraan ini, yang direkam dan diproyeksikan, yang melakukan percakapan berkelanjutan bersama kita dan mencoba mengatakan sesuatu (atau banyak hal), yang terkadang berkerabat dengan, dan melampaui, pengalaman-pengalaman kita, di mana pelampauan ini hanya bisa ditengahi melalui keterlibatan. Semuanya bergantung pada pembayangan ujung-ujung pemahaman manusia, baik sebagai pencipta maupun penerima, penonton, pelibat, pengusil dan penyelidik untuk memaknai citraan-citraan ini, “citraan-citraan yang digunjingkan.”
Ontologi film harus dihubungkan dengan sifat alami dan kedalaman pikiran tentang film itu sendiri: Film soal film, untuk menelisik berbagai proses dan strukturnya. Film dengan begitu menjadi sebuah penyelidikan dan penunjukkan harta-harta, sebuah kegiatan epistemologis dan didaktika.
Menurut pemahaman Greenbergerian, film ditempatkan dalam sejarah moderenisme, sebuah pemisahan radikal dari disiplin-disiplin akademik dan bentuk-bentuk seni silam (kesusasteraan, lukisan, musik). Dengan begitu, film diterima oleh moderenitas sebagai sebuah revolusi teknologis. Merujuk Sharits, orang bisa melihat sifat ganda film (proses perekaman optik/proses pengisian gagasan). Sifat ganda ini membuat ketimpangan masalah, yang barangkali menjadi bahasan sinema paling ontologis.
Film merujuk pada diri sendiri, sebagai alat penelisikan ke dalam persoalan bahasa dan wujud film. Citraan-citraan atau rangkaian-rangkaian dalam pembuatan film diatur sebagai cara menyebarkan pemahaman makna besar. Dengan kata lain, kebutuhan referensi dan denotasi mengendalikan struktur-struktur seluruh tingkatan beragam sampai ke paling bawah. Kebutuhan khusus dalam sinema ini digunakan untuk menangkap kesamaan dunia sehingga bisa menyebar dan menghasilkan pengenalan protokol-protokol struktur baru. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak membawa pada kehampaan makna sebab prinsip perujukan-diri sudah diperkenalkan. Lalu, film itu menjadi soal dirinya dan strukturnya sendiri.
Film bisa menjadi objek mandiri sekaligus representasi-pribadi dalam dirinya sendiri disebabkan kegandaan wujudnya. Melalui gagasan tentang pengobjekan dari film itu sendiri, melalui putaran proses soal refleksi-dirinya, film sekarang diarahkan menuju keadaan alamiahnya.
Film sebagaimana diproyeksikan dalam ruang dan waktu memberikan sifat organis alaminya (yaitu bahan mentah yang mengasumsi bentuk, watak, suara, dll.), tampak seperti menghembuskan nafas kehidupan yang memunculkan anggapan bahwa film setara dengan signifikansi dunia sebagaimana yang kita alami. Sifat alami film mengenai tafakur sebagai “kehidupan” secara ontologis terkait dengan filosofi sebagai sebuah disiplin. Film yang ditempatkan dalam sinematografi moderenitas dalam aroma magis, telah menjadi pusat dari kehidupan dan filosofi.
Melalui gagasan pengobjekan dalam film itu sendiri seperti dalam sifat alaminya yang mandiri, melalui putaran proses refleksi-diri, film penilaian, penyelidikan diri diarahkan menuju sifat alamiahnya yang dilihat inheren secara ontologis dengan medium, di mana film dan filosofi yang bersandingan dengan refleksivitas mereka, bisa membangun landasan umum seperti dalam “Filmosophy”, untuk memberi kebangkitan pada sebuah disiplin pemikiran baru dan penyelidikan epistemik ke dalam sesuatu yang sangat tidak dikenal di dunia pembuatan Film. Konten digital, dengan begitu bisa menjadi sebuah proyek pemaknaan dengan cakrawala yang melampaui dirinya sendiri.
JANGAN LUPA KASIH KOMENTAR DAN FOLLOW BLOG INI YACH TEMAN-TEMAN.....^___^
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kalian Boleh Copas atau nyumut2 isi blog ini tapi untuk Artikel yang diijinkan yah itupun dengan syarat
Kalian Boleh Copas atau nyumut2 isi blog ini tapi untuk Artikel yang diijinkan yah itupun dengan syarat
HARUS CANTUMKAN FULL CREDITNYA!!!
jika mencuri hasil karya tulisan orang lain, bagaimana tulisanmu juga mau diapresiasi orang lain?
jika mencuri hasil karya tulisan orang lain, bagaimana tulisanmu juga mau diapresiasi orang lain?
yuk mari kita saling mendukung satu sama lain \^o^/
Makasih udah mau mampir
Makasih udah mau mampir
baca novel dan FICTION bersambung karanganku di blog
Minggu, 27 Juni 2010
FILSAFAT INDONESIA DALAM FILM
Label:
AKU DAN ILMUKU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar